Langsung ke konten utama

Senja dulu dan senja kini tetap indah bagiku

Sebuah pekerjaan menjadikan aku hanya bertemu fajar dan senja kala itu. 


Tahun 2008 aku adalah perempuan smart single sukses dalam versiku.
Sebelum menikah dengan suamiku, seharusnya aku menyadari jarak antara kami. Semarang dan Pati. Kala itu, aku masih single, PNS di sebuah RS besar di Semarang. Seorang teman mengenalkan aku dengan sahabat suaminya. Katanya, "Diantara 4 sahabat, hanya dia yang belum menikah, orangnya baik, siapa tahu kalian jodoh." Begitulah kira-kira bujuk temanku. ⁣⁣ "Tapi... Pati kan jauh, gimana nanti?" Tanyaku ragu.⁣⁣ 
"Halaaaah... Pikir nanti." Sergah temanku. ⁣⁣ Ya sudahlah. Akupun mengabaikan tempat tinggal lelaki yang akan dikenalkan padaku. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Singkat cerita, aku dan calon suami yang kala itu baru kenal 2 bulan akhirnya menikah. Seminggu setelah menikah kami harus hidup terpisah, karena suami bekerja di Pati mengurus bisnis pertanian. Dan aku mengontrak rumah kecil di Semarang. 
Rindu? Pasti. Setiap hari kami saling bertelepon hanya untuk melepas rindu. Mengobrol hal-hal tak penting tapi menjadi menarik dan panjang untuk dibicarakan. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Sebulan pernikahan kami, Allah memberi kabar gembira atas kehamilanku. Seperti keluhan ibu hamil pada umumnya di trimester pertama, akupun merasakan morning sicknes. Dan rasanya begitu merana jauh dari suami. Mual muntah, dan perasaan meriang tidak nafsu makan. Tapi anehnya, kalau suami datang, aku jadi makan banyak dan bersemangat. Mungkin aku hanya butuh didampingi dan support dari suami. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Tahun pertama pernikahan kami, bayi laki-laki lahir. Putih, montok, sangat lucu. Hari-hari kami menjadi sepasang suami istri terasa begitu lengkap. Tapi sayang, kami masih terpaut jarak tinggal yang lumayan jauh, sehingga suami hanya bisa menemani aku dan si kecil seminggu sekali. ⁣⁣ 

Tahun kedua pernikahan kami, Allah memberikan kehamilan yang kedua. Kehamilan kedua, rasanya lebih menguras tenaga, karena harus mengurus balita (anak pertama) dan keluhan morning sicknes juga mendera. Aku meminta suami tinggal di Semarang. Tak ingin hidup terpisah seperti ini, seharusnya keluarga itu hidup bersama. "Aku ingin berkarir sampai pensiun menjadi perawat, aku sudah menjadi PNS ketika kita belum menikah, seharusnya kamu tinggal di Semarang, dan kita bangun bisnis di sini. Semua bisa dimulai di sini. 
Aku ingin menua di sini," rajukku pada suami. ⁣⁣ 
"Lalu aku bekerja apa di sini, gimana dengan selepan beras yang sedang aku urusi di Pati, gimana dengan sawah pertanian yang aku kerjakan selama ini?" Tanya suami bimbang. ⁣⁣ "Tinggalkan saja, karena aku tak ingin meninggalkan karirku." Aku mempertahankan diri. 

Obrolan ini belum usai, menyisakan gundah yang tak tahu kapan bermuara. ⁣⁣ ⁣⁣ Sampai akhirnya bayi kedua kami lahir dengan wajah yang cantik, mata bulat, kulit sawo matang. Seusai cuti melahirkan aku membawa kembali kedua anakku ke Semarang, dengan seorang pembantu. Tapi mengurus 2 balita sambil bekerja itu tidak mudah, belum lagi pembantu yang terkadang minta pulang tanpa memikirkan apakah waktunya tepat atau tidak, aku sibuk atau tidak. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Masalah baru, bermunculan lagi. Fokus terpecah antara pekerjaan, anak-anak dan pembantu. Sedangkan suami masih jauh tinggal di Pati. Sampai akhirnya aku berfikir, di Jakarta banyak orang yang bekerja berangkat subuh, pulang ke rumah maghrib. Mereka bisa melakukan itu. Sepertinya aku juga bisa, ya kenapa tidak mencoba. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Aku sampaikan kepada suami keinginan untuk pulang ke Pati, dan bekerja PP antara Pati-Semarang setiap hari. Sempat ada keraguan dari suami, apa aku bisa, apa aku kuat? Tapi aku meyakinkan bahwa aku bisa.⁣⁣ ⁣⁣ Kedua anakku aku boyong pulang ke Pati, bersama 1 pembantu. 

Kehidupan baru, dimulai. Rasanya bahagia bisa kumpul bersama suami setiap hari, ada rasa nyaman dan tentram yang kami rasakan dalam hari-hari. Suami juga bahagia karena selama ini jauh dari anak-anaknya hanya bertemu seminggu sekali sekarang bisa bertemu setiap hari. Ketika itu usia anak pertama 3 tahun lebih 2 bulan dan usia anak kedua baru 5 bulan. Dua anak yang masih lucu-lucunya. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Perjalanan Pati-Semarang PP setiap hari.⁣⁣ Setiap usai sholat subuh aku harus berangkat bekerja. Jarak dari kota Pati ke Semarang di waktu subuh bisa ditempuh hanya 1,5 jam dengan kondisi jalan tanpa macet. Dari terminal Terboyo aku masih harus naik bis trans Semarang menuju ke RS tepatku bekerja, kira-kira 30 menit. Sampai di rumah sakit waktu masih menunjukkan jam 06.30 masih bisa untuk sarapan dan membersihkan muka kemudian berdandan untuk bersiap bekerja. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Ternyata dari Pati banyak sekali pekerja yang berangkat ngantor ke Semarang dan mereka adalah pemain lama pekerja laju (sebutan untuk yang bekerja PP tiap hari). Aku menemukan teman-teman baru yang senasib satu perjalanan. Karena setiap hari ketemu kami menjadi akrab dan seperti sahabat. Kami bisa saling berbagi info tentang bis langganan kami apakah libur atau datang pada pagi ini. Sampai akhirnya karena langganan, kondektur bis yang biasa kami tumpangi, selalu memberi info bis sudah sampai mana, jadi kami tidak terlewat / ketinggalan bis. Kami bertukar nomer hp untuk memudahkan saling berkomunikasi. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Senja di kota Pati. ⁣⁣ Langit dengan semburat merah dan sapuan awan yang terlukis menjadi sebuah pemandangan indah di halaman rumahku. Senja adalah waktu dimana aku kembali ke rumah. Disambut tawa ceria kedua anak balitaku. Senja yang indah, terlukis manis mengantarkan aku pada keluarga yang selalu memberikan kebahagian padaku.⁣⁣ ⁣⁣ 

Setahun aku menjalani pekerja laju. Banyak moment yang menjadikan aku berfikir, "apa yang aku cari?"⁣⁣ Seringkali terjadi kemacetan di jalan yang menjadikan aku terlambat sampai rumah. Pernah suatu ketika karena ada perbaikan jalan di kudus bis berhenti begitu lama. Akupun sampai rumah jam 7 malam dan esok harinya usai sholat subuh aku harus kembali berangat kerja . Peristiwa yang sama berulang, membuat aku menjadi jenuh. Dalam kemacetan panjang,aku merenung. "Buat apa aku meninggalkan anak-anak setiap hari. Aku berangkat bekerja saat mereka belum bangun, dan aku pulang kerja terkadang mereka sudah terlelap. Bahkan aku tak tahu seperti apa mentari di kota Pati, karena aku hampir tak pernah menemuinya. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Apa yang aku cari? Uang? Sepertinya tidak. Suamiku mencukupi aku. Jabatan? Ah tidak juga, aku staf biasa yang jauh dari jabatan penting. Titel PNS? Ya mungkin. Aku merasa berat meninggalkan statusku sebagai PNS. Mana mungkin aku meninggalkan status PNS-ku dikala banyak orang yang memimpikan?" Semua pikiran berkecamuk dalam benak. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Ya Allah... Maafkan aku. Aku terlalu egois. Jika kehormatan itu yang aku cari, apakah hanya menjadi PNS yang paling terhormat? Jika uang yang aku cari? Apakah sebenarnya aku kekurangan. Gejolak dalam hati yang lumayan lama tawar menawar antara logika dan ego. Aku mendiskusikan dengan suami, gimana jika aku resign dari pekerjaan, artinya aku keluar dari PNS? Awalnya suami melarang, sangat disayangkan karena banyak orang yang pengen menjadi PNS, kenapa aku justru melepaskan. 
Tapi aku nggak kuat menjalani hari-hari yang begitu melelahkan. Ini sungguh berat buatku. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Hari lain kami membicarakan lagi, bahwa aku ingin keluar dari pekerjaanku, dan sebuah kalimatku mungkin telah membangkitkan ego lelakinya. Ketika aku bilang, "Seharusnya aku tidak wajib bekerja, aku ingin di rumah." Jelas ada penekanan emosi di sini, suami pun menjawab sedikit emosi.⁣⁣ "Nggak usah kerja, keluar saja, keluar!" ⁣⁣ Tapi kami tak pernah beretengkar hebat, kami hanya berselisih paham sesaat kemudian kami akan saling mendekati dan berbicara satu sama lain. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Ketika hati kami tenang, kami membicarakan lagi. "Mas kamu siap kalau aku nggak kerja?" Tanyaku pelan. ⁣⁣ 
"Justru aku tanya sama kamu, kamu siap nggak? terbiasa mendapat gaji bulanan, tiba-tiba nggak dapat gaji bulanan? Aku siap menghidupi dan mencukupi kamu, tapi pendapatanku tak pasti, kamu siap?" Tanya suamiku. 
Aku ragu, tapi keinginanku sudah tak bisa dibendung lagi. Apakah ini hanya emosi sesaat? ⁣⁣ ⁣⁣ 
"Ehm gimana kalau kita membuat perjanjian? Jika aku hamil anak ketiga, aku keluar kerja. Bukannya kehamilan itu kehendak Allah, jika Allah tidak mengijinkan aku hamil pastilah aku nggak akan hamil." Ide yang nggak tahu apakah benar atau tidak, tapi aku yakin ada jawaban dibalik peristiwa yang terjadi pada kami. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Dua bulan setelah kegundahan dalam diskusi-diskusi yang tak berujung, aku benar-benar hamil. Dan aku merasa ini sebuah jawaban dari Allah bahwa aku harus resign dari pekerjaan. ⁣⁣ ⁣⁣ Bismillah aku mantap, memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri. Bukan jalan yang mudah, karena banyak masukan yang aku terima. Salah satu masukan yang sering muncul adalah, "Gimana kalau suatu saat kamu meneyesal, keputusan ini tak bisa ditarik kembali." 
Aku menjawab dengan tenang, Aku akan melihat ke depan, tak kan kutengok lagi ke belakang, karena jalanku ada di depan. Jika aku jatuh, maka aku akan bangkit, bukan menyesali."⁣⁣ ⁣⁣ 

Masukan selanjutnya yang aku terima dari beberapa perempuan senior adalah, "Okelah kamu dan suami baik-baik saja, gimana kalau suatu saat hubungan kalian terjadi 'sesuatu'?" Sambil kedua jarinya bergerak-gerak menekankan tanda petik pada kata 'sesuatu' 
"Allah tak kan menelantarkan aku. Karena aku meninggalkan pekerjaan ini demi suamiku, jika Allah mengujiku dengan sesuatu, aku yakin Allah yang akan mengurusiku," Jawabku pasti. Akhirnya ya sudah menyerah mereka menasehatiku yang sudah bertekad baja. Merekapun mendoakan aku semoga kehidupan kami lebih baik setelah ini.⁣⁣ ⁣⁣ 

Berita ingin mengundurkan diri dari pekerjaan cukup mengagetkan berbagai pihak, termasuk bagian SDM. Akupun dipanggil dan diwawancarai, tentang alasan yang melatarbelakangi keputusanku. Sedikit haru menghampiri perasaanku, karena beliau, perempuan dewasa yang sangat bijak memahami gundah gulana hatiku. Aku yang sebenarnya merasa bingung antara cinta pada karir dan cinta pada keluarga. Tapi kita harus memilih mana yang lebih kita cintai. Beliau pun menarik nafas panjang, dan berkata bijak. "Jangan risau, rejeki Allah yang akan memberinya, pasti Allah mencukupimu." Nyes rasanya, menemukan seseorang yang memahamiku. Kusimpulkan beliau mendukungku. Dan kurasa hanya beliau yang pertama dan satu-satunya yang menasehatiku dari sisi apa yang aku lihat. Intinya bukan aku benci pekerjaanku, aku hanya ingin memilih dari 2 pilihan yang harus aku pilih. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Tahun 2020⁣⁣ 
Kini 6 tahun berlalu aku menjalani kehidupanku sebagai mantan PNS. Alhamdulillah Allah menggantikan banyak sekali rejeki. Usaha suami kian berkembang, dan satu hal penting yang merubah hidupku, aku sudah tidak suka hutang bank lagi seperti pas dulu menjadi pegawai. Tahun 2014 ketika SK pemberhentian kerja sudah keluar, aku segera melunasi hutang yang kala itu masih ada sekitar 21 juta. Selepas itu aku memilih menabung daripada berhutang. Ternyata kepastian gaji pada saat menjadi PNS membuat aku begitu mudah mengajukan hutang ke bank. Ketidakpastian pendapatan (karena suami seorang wirausaha) menjadikan kami lebih suka menabung dan berinvestasi untuk masa depan. ⁣⁣ ⁣⁣ 

Sekarang aku adalah ibu rumah tangga dengan 4 orang anak, kehidupan kami bahagia, dan tidak pernah ada masalah yang berarti dalam rumah tangga. ⁣⁣ ⁣⁣ 
Kini senja yang indah menjadi pemandangan rutin di halaman rumah kami, ketika kami berkumpul santai menikmati ujung sore. Mentari kini menjadi sahabat kami, rasanya indah merasakan mentari di kota Pati. Selalu memberi energi pada hari-hari yang kami lalui.

Komentar

  1. So sweet 🥰,aku dl jg gitu mba ketika di hadapkan diantara 2 pilihan,akhirnya aku memilih keluarga. Saat itu anakq yg pertama usia 1,5th kuputuskan keluar kerja. Alhamdulillah setelah keluar kerja karir suami semakin bagus diterima PNS,setelah ada anak kedua jabatannya naik dan anak ketiga juga golongannya naik..dan sekarang lebih nyaman bersama keluarga. Allah maha kaya ... Jadi ingin bercerita juga ketika kami diuji dengan anak kedua kami yang memiliki keterbatasan,awal-awal bingung kayak kurang menerima tapi semua berubah saat bulan ramadhan aku liat true story' di salah satu acara tv swasta bintang tamunya Dewi Yul..rasanya bagai tertampar dengan kata2nya..kemana selama ini aku?kenapa aku tidak melibatkanNYA?dan mulai saat itu aku lillahi ta'ala,ikhlas menerima semua dan berpasrah kepadaNYA. Alhamdulillah...sekarang perkembangan putri kami sangat bagus,jalan kami dimudahkan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah ya mbak. Allah pasti punya rencana indah.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Allah Memilihkan Jodoh Untukku

Terkadang masih nggak percaya kalau anakku sudah 4. Sepertinya baru beberapa waktu lalu aku bertemu sama lelaki yang akhirnya menjadi suamiku. Kenal hanya 3 minggu, kemudian dia melamarku di minggu ke 4, kemudian menikah 5 Minggu setelah dilamar, sebulan setelah menikah langsung hamil, dan sekarang tahu-tahu anaknya 4 haha. Waktu begitu cepat berlalu. Pertemuan yang tak diduga.  Waktu itu aku masih bekerja di RS dr. Kariadi Semarang, ketika aku bertugas di poliklinik paviliun Garuda. Aku mengantarkan pasien yang mau rawat inap. Aku mendorong kursi roda pasien, ke ruang rawat inap. Di situ aku bertemu dengan salah satu perawat yang masih memakai seragam putih-putih. Seharusnya perawat RS memakai seragam warna hijau (pada waktu itu, tahun 2008). Kemudian aku bertanya kepada perawat itu, "kamu mahasiswa mana?" Karena biasanya mahasiswa praktek yang memakai baju putih.  "Saya pegawai baru," kata dia.  "Oh, belum punya seragam ya?" Tanyaku lagi.  &q